Perpesktif Baru Dalam Pemecahan Masalah Belajar

Lahirnya functional contextualism |1

Saat ini teori Konstruktivis sangat mendominasi dunia pendidikan dan pengaruhnya pun tampak jelas pada setiap desain pembelajaran. Menurut teori konstruktivis pengetahuan bukanlah sesuatu yang didapat tetapi lebih ke sesuatu yang dihasilkan. Teori Konstruktivis telah mengkritisi pembelajaran tradisional dengan menawarkan tehnik pembelajaran yang berbeda, seperti misalnya pembelajaran sosial. student-centered instruction. Di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus secara individu menemukan dan men-transfer informasi-informasi kompleks apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri.Teori konstruktivis memandang siswa secara terus-menerus, menawarkan informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Pandangan ini mempunyai implikasi yang mendalam di dalam pengajaran, teori ini menganjurkan peranan yang lebih aktif bagi siswa dalam pembelajaran mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang saat ini dilaksanakan pada mayoritas kelas. Karena penekanannya pada siswa sebagai siswa yang aktif, strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang terpusat pada siswa atau

Suatu revolusi sedang terjadi dalam dunia pendidikan. Perspektif baru muncul sebagai alternatif dari teori konstruktivis, dikenal sebagai Functional Contextualism atau disingkat FC. Seperti teori konstruktivis, FC juga menolak epistimologi objektivitas. FC lebih mementingkan dasar filosofi yang masuk akal dalam membangun pengetahuan empiris pada belajar dan pembelajaran. FC terlihat sangat menjanjikan bagi pendidikan. Karena memiliki dasar yang sama dengan sebagian besar teori konstruktivis. Untuk lebih menjelaskan dasar filosofi dari FC dan untuk mengetahui kesamaan dan perbedaannya dengan teori konstruktivis, maka berikut ini akan dibahas lebih lanjut.

Kontekstual dan functional contextualism|2

Pandangan John Dewey di tahun 1946 yang mengatakan bahwa Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (CTL) merupakan sebuah filosofi yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa menuju pembelajaran konstruktif. Seiring berjalannya waktu, implementasi CTL berkembang pesat sehingga dapat merubah kehidupan siswa dan membantu meningkatkan prestasi akademiknya menjadi lebih baik. Melalui sebuah penggalian nyata dari hubungan antara fungsi otak, penyimpanan ingatan, dan metode-metode pengajaran, CTL memberikan penguatan siswa dengan menghubungkan pekerjaan sekolahnya dengan kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain CTL merupakan sebuah sistem kompatibilitas otak (Brain-Compatible System), yang mengajak siswa untuk memahami arti dari ‘konteks’ yang sebenarnya, yang mencakup isi yang dibelajarkan (content), asumsi-asumsi di bawah kesadaran, dan keputusan diri seseorang untuk berkembang (Johnson, 2002)

Kontekstualisme menganalisa semua fenomena sebagai aktifitas dalam konteks (acts-in-context). Ide-ide didapat dari pengalaman seseorang. Ide-ide tersebut dianalisa dengan tujuan yang jelas. Tanpa tujuan analitik yang jelas, kontekstualist akan mengalami kesulitan dalam meng-konstruk dan membagikan suatu pengetahuan. Seorang kontekstualist dapat mengadopsi tujuan analitik yang berbeda. Meskipun yang dibahas adalah topik yang sama, tetapi tujuan dan pendekatan yang digunakan akan sangat berbeda.

Berikut adalah perbandingan dari kontekstualisme dan Functional Contextualism:

Deskripsi Kontekstualisme

Functional Contextualism

Contoh

Konstruktivis Sosial

Analisis Behavior

Tujuan Analitik

Untuk memahami kompleksitas dan kekayaan seluruh kejadian melalui apresiasi

Untuk memprediksi dan mempengaruhi kejadian dengan ketelitian, ruang lingkup, dan kedalaman penggunaan empiris berdasar konsep dan aturan.

Bangunan Pengetahuan

Personal, jangka pendek, spesifik, lokal, dan temporal.

Umum, abstrak, dan tidak terbatas waktu.

Konten dan Fokus

Individual dalam konteks.

Behavior dalam konteks

Metode

Qualitatif dan naratif

Quantitatif dan eksperimen

Tipe

Natural history

Natural science

Tabel: Perbandingan kontekstualisme dan Functional Contextualism, diadaptasi dari Biglan & Hayes (1996), Gifford & Hayes (1999), Morris (1993).

Behavior dan functional contextualism |3

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage & Berliner, 1984).

Teori behavioristik dinilai kurang mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Guru behaviorist hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Dari segi psikologi, pandangan behavioristik juga mengabaikan adanya variasi tingkat emosi siswa.

Functional Contextualism telah dikembangkan secara eksplisit sebagai ilmu filosofi (Biglan, 1995; Gifford & Hayes, 1999; Hayes, 1993). Secara spesifik telah ditawarkan sebagai dasar filosofi suatu bidang yang dinamakan Analisis Behavior. Dari perspektif Functional Contextualism, analisis behavior adalah pengembangan dari sistem organisasi secara empirik konsep verbal dan aturan-aturan yang mengijinkan fenomena behavior untuk diprediksi dan dipengaruhi dengan ketelitian, ruang lingkup dan kedalaman. Pendekatan analitik behavior mempelajari kejadian psikologi dapat juga digunakan untuk interpretasi evolusi dan praktek-praktek budaya.

FC menyediakan bidang dengan dasar filosofi yang jelas, berlawanan dengan epistimologi konstruktivis yang mengajukan pendekatan sistem. FC memberi contoh bagaimana belajar dan pembelajaran dapat diarahkan tanpa mekanisme. FC juga menawarkan pandangan yang dinamis untuk menguji belajar dan performance-nya dengan peningkatan kejelasan, ketelitian, dan perhatian pada bangunan ilmu pengetahuan.

Functional Contextualism merupakan filosofi pengetahuan|4

Eric J Fox

Menurut Eric J Fox, FC merupakan filosofi pengetahuan bukan teori. Filosofi terdiri dari asumsi pra-analitik dan bukti aturan-aturan, penilaian dan teori evaluasi. Namun menurut Hannafin, membandingkan FC dan konstruktivis dapat sangat menyesatkan. Karakteristik FC hampir sama dengan konstruktivis, dan hubungan diantara keduanya sangat jelas, menipiskan dan mengaburkan perbedaan yang fundamental. Meskipun secara paralel dapat ditarik, membangun pengetahuan tidaklah semudah membentuk kembali pandangan pragmatik. Tetapi pada akhirnya Hannafin juga setuju pada pendapat Fox, bahwa FC merupakan filosofi pengetahuan (philosophy of science) bukan suatu teori.

Reigeluth

Menurut Reigeluth, ia setuju bahwa FC menyediakan kejelasan teori dan keterpaduan filosofi. Bukan hanya untuk konstruktivis tapi juga untuk memahami pembelajaran dan teori desain pembelajaran secara umum. Sumbangan kedua dari FC adalah mendorong kita untuk fokus pada penerapan pengetahuan praktek tanpa memperhatikan waktu dan tempat. Sumbangan ketiga dari FC menurut Reigeluth adalah FC menawarkan panduan untuk menghasilkan pengetahuan praktis dalam bentuk teori desain yang berorientasi pada tujuan. FC menyediakan dasar filosofi untuk teori desain, seperti yang diungkapkan Fox sebagai tujuan eksplisit, fungsi, variabel yang dapat dimanipulasi dari segi kontekstual. Tetapi Reigeluth mengambil pengecualian pada karakterisasi milik Fox. Reigeluth menekankan pada pentingnya perkiraan sama baiknya dengan pengaruh pada peristiwa psikologi. Pentingnya pembedaan antara teori desain dan teori deskripsi tidak dijelaskan. Reigeluth bersama rekannya Schwartz (1989) telah mengidentifikasi tiga tipe behavior : hubungan sebab akibat, Prediksi/perkiraan, Penjelasan dan Solusi. Solusi memerlukan penyelesaian dan implementasi dari sebab untuk menghadirkan efek yang diinginkan. Dimana Solusi adalah goal oriented sedangkan Prediksi dan penjelasan adalah goal-free oriented. Untuk bagian kontekstual, Reigeluth menguraikan panduan ketika menggunakan metode dalam teori desain, sebagai berikut:

1. Empat macam kondisi (apa yang akan dipelajari, siswa, lingkungan, pengembangan pembelajaran).

2. Tiga macam kriteria, dapat digunakan untuk menilai pembelajaran (Efektifitas, Efisiensi dan Pertimbangan)

3. Nilai dari pembelajaran yang diadakan oleh stakeholder (Insruktur, siswa, “owners” dari pembelajaran, dan manfaat apa yang diperoleh siswa)

Jonnasen

Jonnasen setuju pada dasar pemikiran Fox bahwa FC merupakan implikasi untuk desain pembelajaran. Karenanya ia menaruh perhatian pada pendapat Fox yang mengungkapkan bahwa FC adalah alternatif dari konstruktivis karena konstruktivis tidak memiliki pembuktian secara empirik akan efektifitasnya, jadi FC hadir menggantikannya. Untuk itu Jonnasen memiliki beberapa alasan.

Pertama, efek konstruktivis tidak jelas karena bukan merupakan teori belajar. Bukan pula model untuk mendesain pembelajaran. Secara fundamental epistimologi yang mempengaruhi para pendidik pada kurun waktu terakhir. Secara ontologi, memiliki efek yang signifikan pada bidang seni dan sosiologi selama lebih dari 60 tahun.

Kedua, meskipun konstruktivis bukan merupakan metode desain, tetapi secara empirik memiliki kemampuan inovasi, seperti misalnya problem-based learning, simulasi, pembelajaran bermakna, dll.

Ketiga, prinsip dari konsep belajar adalah mengingat. Model seperti belajar tuntas (mastery learning), dan program belajar yang lain telah memberikan balikan berupa hasil yang konsisten. Dasar empirik dari FC yang merupakan kerja Skinner pada analisis behavior ternyata juga sangat konsisten.

Keempat, ada teori-teori lain yang menyempurnakan tujuan FC. Teori aktifitas misalnya, melengkapi keragaman sosial, sejarah, komunitas, dan yang lain, bukan hanya behavior. Menurut FC, pengetahuan adalah pengalaman.

Kelima, tidak ada satu model pembelajaran atau teori belajar yang terbaik. Penggunaan beberapa teori dan model sangat disarankan dalam pembelajaran.

Menurut Jonnasen, agar pendapat Fox lebih meyakinkan, ia mendorong agar dikembangkan suatu metode tes secara empirik untuk menerapkan FC dalam pembelajaran. Jonassen juga menyarankan kepada Fox agar mengeluarkan pendapatnya tentang model pembelajaran dengan dasar FC dan tes secara empirik. Jonassen tidak yakin bahwa model FC dapat menyediakan suatu model yang benar dari desain pembelajaran, tetapi mungkin dapat menyediakan sesuatu yang bermanfaat dalam konteks tertentu.

Renungan functional contextualist|5

Konstruktivis memberikan sumbangan besar kepada dunia pendidikan dengan mendorong pembelajaran yang relevan dan keterampilan serta pengetahuan bermakna. Functional Contextualism memberikan contoh bagaimana tujuan pengetahuan dari perkiraan dan pengaruh dari kejadian dapat diadopsi tanpa mempedulikan objectivitas dan mekanisme. Beberapa ahli seperti yang telah diuraikan rata-rata setuju pada pendapat Fox bahwa FC adalah implikasi untuk mendesain pembelajaran, bukan teori ataupun model belajar. FC menawarkan pandangan yang dinamis untuk menguji belajar dan penampilan dengan peningkatan kejelasan, ketelitian, dan perhatian pada bangunan ilmu pengetahuan. FC merupakan filosofi pengetahuan atau philosophy of science bukan suatu teori. Namun demikian sebagai renungan terakhir, perlu disadari bahwa tidak ada satu model pembelajaran atau teori belajar yang terbaik. Penggunaan beberapa teori dan model belajar dan pembelajaran sangat disarankan untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai.

“Tidak ada satu teori atau model pembelajaran terbaik, antara teori satu dengan teori atau model pembelajaran yang lain adalah saling melengkapi”