Beberapa hari lalu saya menghabiskan weekend di sebuah kota yang tenang, tempat pembuangan Bung Karno: Ende. Di situ saya diundang para alumnus sebuah sekolah yang meng hasilkan lulusan-lulusan hebat yang kini tersebar di berbagai profesi. Namanya Syuradikara yang didirikan 60 tahun lalu oleh para misionaris Katolik yang dalam bahasa Sansekerta berarti: Pencipta Pahlawan Utama.
Dari pulau terluar Indonesia itu, saya terkejut karena bertemu tokoh-tokoh masyarakat yang namanya biasa kita lihat di media massa. Ada pimpinan perusahaan asing, professional keuangan, aktivis sosial, pendidik terkemuka, wartawan, seniman, pengusaha, dan tentu saja pastor.
Saya tidak habis pikir, bagaimana kota ”pembuangan” sejauh ini bisa memiliki sekolah dengan lulusan-lulusan yang melahirkan impact besar.
Sekolah yang hebat tentu saja tidak melulu dibangun dari aset-aset yang hebat seperti belakangan kita saksikan di Jakarta dan Surabaya. Sejarah menunjukkan, sebuah kesahajaan pun bisa menghasilkan kehebatan, asal tidak memanjakan.
Di atas lahan 12 hektare yang subur di dekat Gunung Meja, saya masih bisa menyaksikan sebuah kesahajaan dengan para siswa yang datang dari berbagai kabupaten terpencil di Provinsi NTT.
Tetapi, 12.000 alumnusnya yang tersebar di seluruh Indonesia tidak membiarkan junior-juniornya terperangkap dalam kebesaran sejarah masa lalu mereka. Mereka sadar betul zaman telah berubah. Cara belajar baru menjadi tuntutan. Tetapi, siapa yang bisa mengubah kalau semua sibuk di kota-kota besar?
Mereka juga tahu bahwa sekolah-sekolah Katolik yang dulu berjaya kini kebanyakan ditangani orang-orang yang terperangkap dalam cara berpikir lama yang sulit berubah. Karena itu, mereka beramai-ramai pulang kampung, membuka sepotong jendela, memasukkan udara segar agar sekolah mereka bisa melihat dunia baru yang benar-benar telah berubah.
Saya mengatakan, kalau para alumnus bisa bergantian memberikan sharing pengalaman masing-masing seminggu dalam setahun saja sambil pulang kampung, sudah pasti perubahan akan menjadi kenyataan.
Sekolah seperti itu tentu masih sangat digemari. Meski sebagian sekolah Katolik yang dulu dikenal sukses mulai memudar, Syuradikara masih tampak sangat diminati. Tetapi, hal ini sering tidak disadari bahwa anak-anak kita telah hidup dalam dunia yang benar-benar sudah berubah. Aspirasi dan tantangan mereka berbeda dengan aspirasi serta tantangan yang dihadapi para guru.
Saya teringat komplain seorang dosen senior di Jakarta yang kesal melihat mahasiswa hanya main-main di perpustakaan. Mahasiswa, kata dia, hanya menggunakan laptop untuk bermain. Setelah saya amati, ternyata pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Ini hanyalah perbedaan perspektif belaka.
Bagi generasi tua, perpustakaan adalah buku dan belajar adalah serius, fokus, diam, serta tekun. Sementara itu, bagi generation C (connected generation), belajar adalah komputer. Di dalam komputer mereka bisa melakukan empat hal sekaligus:work, leisure, social, and learning. Sekali mendayung mereka mendapat empat hal sekaligus. Tentu saja mereka tidak seperti para senior. Tetapi, mereka terus belajar, meski sebagian di antara mereka sulit fokus dan melompat-lompat.
Kesahajaan seperti apa yang harus dibangun pada era baru seperti ini? Para guru tentu harus siap menerima perubahan. Apalagi, sekarang guru sekolah-sekolah swasta bergaji lebih rendah dari guru-guru sekolah negeri yang telah diangkat menjadi PNS. Negara tentu tidak boleh melupakan guru-guru swasta. Sebab, sekolah-sekolah itu turut berpartisipasi memperbaiki kualitas sekolah manusia Indonesia.
Tetapi, saya sering bilang kepada Anda, di daerah-daerah terpencil, kesungguhan bisa menghasilkan kehebatan. Tidak dapat dimungkiri, semua itu berasal dari penanam nilai-nilai kedisiplinan. Bila orang yang cerdas diadu dengan orang yang disiplin, hampir pasti pemenang akhirnya bukanlah orang yang cerdas. Ketika sekolah-sekolah bermodal besar berfokus pada pengetahuan, ada satu yang dilupakan. Yaitu, belajar cara menggunakan pengetahuan itu sendiri.
Di Syuradikara, saya masih bisa melihat anak-anak sekolah menyapu dan membersihkan lantai. Saya juga melihat anak-anak dari berbagai suku belajar di sekolah itu dan tinggal di asrama. Meski datang dari daerah yang berbeda-beda, semua senang makan singkong Ende yang terkenal itu. Begitu terkenalnya, sampai-sampai para alumnus memborong pulang berkilo-kilogram untuk dibawa ke Jakarta. Seluruh alumnus berbicara tentang singkong.
Saya pun terheran-heran, apa istimewanya singkong itu? Seorang alumnus senior menjelaskan bahwa singkong tersebut menjadi enak karena ditanam di tanah abu vulkanis yang subur sehingga ubinya besar dan lembut. Tetapi, seorang teman menulis di e-mail sambil guyon. Dia mencatat, di mana-mana orang Flores senang makan singkong. ”Kalau sudah makan singkong, orang Flores bisa lupa sama mertua,” ujarnya.
Tetapi, dia menambahkan, ”Kalau orang Flores mulai cerita tentang enaknya singkong, perlu dicurigai, apakah enak ataukah rindu kampung,” ungkapnya.
Saya kira dua-duanya benar. Sebab, selain singkongnya enak, alam dan adat budaya Flores amat kaya. Saya tidak pernah mengunjungi daerah yang hampir setiap kecamatannya mempunyai corak tenun yang unik dan indah. Desa-desa adatnya pun masih terpelihara. Saya tidak heran bila Sidomuncul sempat memasang iklan dengan tagline: Pergilah ke Labuan Bajo. Kalau Anda ke sini, Anda pasti akan sependapat dengan saya. Tetapi, jangan bandingkan fasilitas dengan Pulau Dewata yang sudah 30 tahun lebih maju.
Kelak Syuradikara pun bisa menelurkan wirausahawan-wirausahawan unggul yang siap mengangkat kekayaan alamnya sebagai bisnis yang penting. Kemiri yang dibiarkan berjatuhan, cengkih, cokelat, kopi, dan jutaan kekayaan alamnya tumbuh di antara objek-objek wisata dunia seperti Danau Kelimutu. Kalau para romo memahami perubahan dan tidak menganggap berwirausaha kegiatan ”yang rendah”, mereka pasti bisa mengembangkan kesejahteraan yang lebih baik. ●
Rhenald Kasali ; Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS, 03 Oktober 2013