Potensi Kecerdasan Pada Manusia

Dalam kurun waktu yang cukup lama, kita terjebak pada asumsi bahwa manusia hanya memiliki kecerdasan tunggal. Kapasitas kemampuan manusia dalam berfikir diidentikkan dengan kemampuan intelegensi atau lebih dikenal dengan IQ (intelegence Quotient). Orang yang memiliki kemampuan IQ diatas 120 dianggap mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi, begitu pula sebaliknya orang yang memiliki kecerdasan di bawah 90 dianggap tidak mampu menyelesaikan segala permasalahan dan sering mendapat justifikasi sebagai anak bodoh.

Implikasi dari prinsip yang demikian, menjadikan dunia pendidikan dalam pengembangan instrument akademik mengambil segala keputusan yang bersifat diskriminatif. Hal ini dapat dicermati pada beragam instrumen alat pengukuran terutama model tes intelegensi yang dikembangkan. Alat ukur intelegensi dijadikan sebagai model pengukuran identifikasi kemampuan umum manusia.

Pada proses pendidikan, kecerdasan si belajar dikaitkan dengan kemampuan akademik yang berdasar pada kemampuan menyelesaikan tugas tugas akademik verbal  (kebahasaan) dan numerical (hitungan/matematika). Pandangan seperti ini menjadikan dunia pendidikan sebagai lembaga yang memenjarakan potensi individu si belajar dalam sistem yang tidak fleksibel dan terlepas dari setting budaya (free culture).

Pada hakekatnya manusia yang lahir ke dunia tidak terlepas dari potensi indidual seperti bakat, minat, kecendrungan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kecenderungan ini bersifat laten dan hanya bisa terdeteksi ketika proses pendidikan mampu untuk memberikan ruang bagi perkembangan individu secara optimal. Gardner ( 1991)  mempelajari  bahwa perkembangan proses kognitif anak melalui studi aspek budaya, aspek neurofisiologi, dan studi antropologi. Atas dasar kajian ini ditemukan bahwa pada diri manusia memiliki beragam kemampuan yang lebih diistilahkan dengan kecerdasan ganda atau majemuk. Dalam pandangan Gardner, manusia memiliki tujuh macam kecerdasan yang meliputi: intelegensi Verbal/linguistic, logical/matematika, spatial, bodily/kinesthetetic,  musical,   interpersonal, dan intrapersonal. Selanjutnya ditemukan pula kecerdasan lain yaitu :  naturalic,   eksistensial, dan     spiritual.

Intelegensi verbal/linguistik berhubungan dengan kemampuan anak dalam akuisisi linguistic yang kompleks dalam hal rumusan dan proses kebahasaan.Pikiran secara simbolik dan penalaran secara abstrak atau kemampuan untuk membuat pola pola verbal konseptual, termasuk ke dalam kategori intelegensi ini. Wujud kongkretnya dapat diperhatikan pada kemampuan membaca,menulis, perkembangan ketrampilan membaca dan berbahasa seperti permainan hurup dan kata, ungkapan, kiasan, peribahasa, dan kemampuan analogi.

Intelegensi logika /matematika berhubungan dengan kemampuan untuk berfikir secara logis, menarik simpulan secara induktif, dan deduktif, atau secara kategorik. Kemampuan ini juga berkaitan dengan pengenalan pola pola geomentrik dan pola angka dan masih dikategorikan sebagai kemampuan yang bersifat abstrak. Anak anak yang memiliki kemampuan logika/matematika bila dikembangkan secara maksimal akan berpeluang untuk menjadi peneliti yang ulung,

Intelegensi spatial merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempersepsikan kesan dari gambar gambar atau pola pola. Seseorang yang memiliki kemampuan spatial tinggi mampu untuk berfikir dalam bentuk kesan kesan atau gambaran (images) dan pada umumnya mampu untuk menemukan obyak yang hilang dan mampu mengenali hal hal yang telah dirubah secara acak sehingga sering disebut sebagai intelegensi visual.

Intelegensi musical berkenaan dengan kemampuan untuk membuat dan menginterpretasikan musik sehingga cenderung peka dengan nada (pitch), warna nada (timbre) dan irama nada (ritme). Kemampuan yang muncul berupa penguasaan terhadap alat musik dan membuat efek suara.Kemampuan spatial seseorang sangat erat kaitannya dengan intelegensi verbal linguistik karena produk yang dihasilkan dunia musik merupakan rangkaian kemampuan berbahasa terutama pada pembuatan lirik,dan syair.

Bodily/kinestetik merupakan kemampuan dalam olah fisik baik yang menyangkut system otot halus maupun pada otot besar. Intelegensi ini berurusan dengan gerak dalam bentuk riil seperti menggeliat, berayun ayun, memanjat, melompat, dan sejenisnya dan menggunakan seluruh tubuh sebagai sarana untuk menampilkan diri atau bagian dari seluruh tubuh untuk memecahkan masalah atau menghasilkan produk atau prilaku tertentu. Jika dikembangkan potensi seseorang yang memiliki intelegensi ini pada akhirnya dapat menjadi nakhoda kapal, ahli bedah, ahli mekanik dan profesi lainnya dibidang mekanik.

Kemampuan yang muncul pada seseorang untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang lain dan untuk memfasilitasi proses hubungan dan proses kelompok merupakan gambaran dari aplikasi intelegensi interpersonal. Implikasinya seseorang akan sanggup untuk membaca jalan pikiran orang lain, memiliki rasa empatik yang kuat, mampu menangkap getaran jiwa orang lain, kooperatif dan kolaboratif. Hatch dan Gardner selanjutnya mengidentifikasi empat macam kemampuan sebagai komponen kecerdasan interpersonal : pertama, kemampuan mengorganisasi kelompok, kedua, kemampuan merundingkan solusi, ketiga, kemampuan hubungan pribadi dan keempat, kemampuan melakukan analisis social.

Intelegensi interpersonal berhubungan dengan kemampuan untuk sedikit banyak membatasi diri dari pengamatan orang lain, mempunyai suatu perasaan atau keinginan  kuat pada diri sendiri. Dalam sebutan lain kemapuan interpersonal pada diri seseorang dipandang memiliki kemampuan sinergistik-natural. Seseorang yang memiliki  intelegensi interpersonal tinggi memiliki kapasitas untuk memahami diri sendiri secara tepat, baik kekurangan maupun kelemahannya, suka menyendiri tetapi kuat dalam hal intuitif tetapi memiliki kearifan yang tinggi.

Kemampuan pokok yang banyak bersentuhan dengan nilai budaya dikenal dengan intelegensi natural. Aplikasi kemampuan tersebut dapat dikenali pada beberapa orang yang sulit dikenali potensi intelegensinya, mereka yang punya kemampuan seperti ini memiliki kemampuan kategoris, memiliki kapasitas dalam hal taksonomi rakyat, dan berorientasi pola pikir ruang dan waktu.

. Dari temuan tersebut, Gardner melakukan pemetaan bahwa setiap kemampuan manusia disebut intelegensi jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :

  1. Intelegensi potensial terisolasi (tak berfungsi) jika terjadi kerusakan otak.
  2. Suatu sejarah yang evolusioner dan penerimaan akal yang bersifat evolusioner.
  3. Adanya suatu operasi inti atau satuan operasi yang bisa diidentifikasi.
  4. Intelegensi merupakan suatu peristiwa penyadaran yang dikemas dalam suatu sistem simbol.
  5. Dalam suatu sejarah, pengembangan dapat dipilah dan dijelaskan melalui ferfomansi ekspert.
  6. Diakui adanya kekecualian bagi orang idiot, prodigies (ajaib), dan orang orang pengecualian lainnya.
  7. Adanya dukungan dari penemuan psicometrik (pengukuran psikologis )
  8. Adanya dukungan dari tugas psikologi eksperimental.
  9. Implementasi Kecerdasan Ganda Dalam Proses Pembelajaran

Walaupun sudah mempelajari adanya berbagai jenis perbedaan individu, namun sistem pendidikan kita tetap berasumsi bahwa setiap orang dapat mempelajari material yang sama dengan cara yang sama dan menekankan pada penguasaan bahasa dan logika matematika. Dengan kata lain pengakuan terhadap perbedaan individu tidak dibarengi dengan perlakuan yang beragam bagi anak-anak didik. Padahal disadari bahwa perbedaan individu ada pada kekuatan intelegensi masing masing yang disebut profil intelegensi.

Sistem pendidikan yang dirancang ke depan mengarah pada pemerolehan pemahaman pada setisp individu sesuai dengan karakteristik dan potensi intelegensi yang dimiliki. Kombinasi  intelegensi tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai tugas,  pemecahan masalah, menghasilkan produk, dan maju dalam berbagai domain. Sebagai landasan dalam memahami pemerolehan pemahaman yang bersifat holistik yang demikian, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Gardner memiliki satu kartu utama di bidang pendidikan yaitu pendidikan harus memberi dasar bagi pemerolehan pemahaman yang tinggi mengenai berbagai dunia seperti dunia fisik, biologis, keberadaan manusia, artifak manusia, dan dunia pribadi (self).
  2. Pada aspek penetapan tujuan pendidikan diarahkan pada kemampuan penggunaan ketrampilan tersebut sebagai alat untuk memperoleh pemahaman yang tinggi dan mendalam mengenai berbagai hal.
  3. Bukti seseorang memiliki kemampuan bukan hanya terletak pada penguasaan berbagai jawaban tes tetapi lebih menekankan performansi siswa atas apa yang diketahui.

Untuk mengarah pada upaya mendorong pemerolehan pemahaman dapat digunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan observasional, pendekatan konfrontasional, dan pendekatan sistematik. Pendekatan observasional pada lembaga tradisional dapat diterapkan praktek lapangan, sehingga siswa berkesempatan belajar dari praktisioner, mengamati kerja mereka, dan mencoba mempraktekkan untuk pemecahan masalah tertentu. Penggunaan pendekatan konfrontasional menghadapkan siswa secara langsung pada kejadian kejadian yang membuat dirinya mengalami miskonsepsi. Begitu pula penggunaan pendekatan sistematik mengajar pemahaman, guru diminta untuk menyatakan tujuan secara eksplisit, menyatakan performansi pemahaman, dan menyampaikan kerangka pemahaman.

Pendekatan pendekatan spesifik yang berfokus pada kecerdasan ganda (multiple intelligence) menawarkan enam langkah entry point agar menjurus pada intelegensi spesifik :

  1. Narasional, siswa senang belajar tentang topik melalui cerita.
  2. Kuantitatif/ numerical, siswa senang bekerja dengan angka angka dan pola pola yang dapat dibentuk.
  3. Logika, kapasitas orang untuk berfikir secara deduktif (premis mayor-premis minor-simpulan).
  4. Fondasional/eksistensial, siswa lebih tertantang dengan seni dan materi yang dapat diatur sehingga menampakkan keseimbangan,harmoni atau komposisi.
  5. Hans on, banyak orang khususnya anak, mudah menguasai topic melalui membangun sesuatu, memanipulasi material, atau melakukan eksperimen.
  6. Sosial, banyak orang merasa dapat belajar lebih efektif melalui kerja kelompok.
  7. Karakteristik dan Model Gaya Belajar

Setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam merespons situasi belajar yang dialami. Hal ini memunculkan beberapa gaya belajar yang bervariasi dengan model model yang beragam pula. Hal ini terjadi karena potensi intelegensi individu yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Myer-Briggs Type Indicator ( MBTI )

Model ini mengklasifikasikan pebelajar sesuai dengan skala yang berasal dari teori psikologis Carl Jung. Si belajar akan memperlihatkan kecenderungan :

  • Ekstravert (suka mencoba sesuatu ,memusatkan perhatiannya pada dunia luar) atau intropert (merenungkan sesuatu, memusatkan perhatian pada dunia ide batin )
  • Sensor (praktis, berorientasi pada sesuatu yang detail, memusatkan perhatian pada fakta dan prosedur) atau intuitor (imajinatif, berorientasi pada konsep, memusatkan perhatian pada makna dan kemungkinan.
  • Thinker (spektis, cenderung membuat keputusan berdasarkan logika dan kaidah) atau feeler (perasa), apresiatif (cenderung membuat keputusan berdasarkan pertimbangan pribadi dan humanistis)
  • Judger (menetapkan dan mengikuti agenda, mencoba meyelesaikan sesuatu meski dengan data yang tidak lengkap), atau perceiver (mudah beradaptasi dengan keadaan yang terus berubah, menolak untuk mengakhiri sesuatu sebelum mendapatkan data lebih banyak.

Model Gaya Belajar Kolb.

Model ini mengklasifikasi pebelajar sebagai seseorang yang memiliki pengalaman kongkret atau konseptualisasi abstrak,eksperimentasi aktif atau observasi reflektif.

Dalam skema klasifikasi ini ada empat jenis tipe pebelajar :

  • Tipe 1 ( kongkret, reflektif). Pertanyaan khas yang muncul dalam tipe ini adalah “Whay”? Pebelajar jenis ini mampu merespons bahan ajar berhubungan dengan pengalaman,minat, dan karir masa depannya. Untuk membimbing pebelajar dengan karakteristik tipe seperti ini, guru harus bertindak sebagai motivator.
  • Tipe 2 (abstrak, reflektif) Pertanyaan yang khas dengantipe ini adalah “what “? Pebelajar dengan tipe ini mampu merespons dengan baik informasi yang disajikan secara terorganisir dan logis dan reflektif.
  • Tipe 3 (abstrak,aktif) Pertanyaan yang khas dalam tipe belajar ini adalah “how”? Tipe ini mampu untuk menggarap secara aktif tugas yang ditata dengan baik jika diberi peluang dan belajar berdasarkan trial dan error.
  • Tipe 4 (kongkret,aktif) Pertanyaan yag khas dalam tipe belajar ini adalah “Bagaimana jika”? Dalam implementasinya pebelajar tipe ini suka menerapkan materi ajar baru dalam memecahkan masalah masalah riil.

 

Model Herman Brain Dominance Instrument (HBDI)

Model ini mengklasifikasi  siswa berdasarkan preferensi relative berfikir pada empat mode yang berbeda. Keempat mode ini adalah :

  • Kuadran A, (otak kiri, serebral). Logis, analitis, kuantitatif, factual, kritis.
  • Kuadran B, (otak kiri, limbik) Sekuensial, terorganisasi, terencana, terinci, terstruktur.
  • Kuadran C, (otak kanak, limbik), Emosional, interpersonal, sensoris, kinestetik, simbolik.
  • Kuadran D, (otak kanan, serebral) visual, holistik, inovatif.

Model Gaya Belajar Felder-Silverman

Model  ini mengklasifikasi pebelajar sebagai :

  • Pebelajar pengindera atau sensing (kongkret, praktis, berorientasi pada fakta dan prosedur) atau pebelajar intuitif (konseptual, inovatif, berorientasi pada teori dan makna).
  • Pebelajar visual (lebih menyukai refresentasi visual untuk materi yang disajikan berupa gambar, diagram, bagan alur), atau pebelajar verbal (lebih menyukai penjelasan tulis atau lisan).
  • Pebelajar induktif (menyukai penyajian yang bermula dari khusus ke umum), deduktif (penyajian dari umum ke khusus)
  • Pebelajar aktif (belajar mencoba,belajar dengan orang lain), Pebelajar reflektif (belajar dengan merenungkan sesuatu,bekerja sendiri).
  • Pebelajar sekuensial (linear, teratur, belajar dengan langkah demi langkah, makin lama makin besar), atau pebelajar global (holistik, pemikir sistem, belajar dengan lompatan yang besar).

Strategi Mengajarkan Semua Gaya Belajar

Berikut ini disajikan  beberapa strategi untuk membimbing atau melayani perbedaan  gaya belajar pebelajar . Saran ini merupakan perwujudan kongkret  dari penerapan model Felder- Silverman

  • Ajarkan materi teoritis dengan pertama tama mengemukakan fenomena dan masalah yang berkaitan dengan materi tersebut.
  • Seimbangkan informasi konseptual (intuitif) dengan informasi kongkret (sensing).
  • Gunakan secara luas sketsa, plot, skematik, diagram vector, grafik computer demonstrasi fisik (visual) selain derivasi dan penjelasan lisan dan tulis (verbal) pada pembelajaran dan bacaan .
  • Untuk mengambarkan algoritme pemecahan masalah atau konsep abtrak, gunakan paling tidak satu contoh bilangan (sensing) untuk melengkapi contoh aljabar biasa (intuitif ).
  • Gunakan demontrasi dana analogi fisik untuk mengambarkan besarnya kuantitas yang dihitung (sensing global ).
  • Kadang-kadang, kemukakan observasi ekprimental sebelum menyajikan prinsip umum dan minta kepada pebelajar (untuk bekerja secara berkelompok) melihat sejauh mana pemahaman mereka dalam menyimpulkan prinsip umum tersebut (induktif )
  • Sediakan waktu kepada mahasiswa untuk merenungkan matri yang baru disajikan (reflektif) dan waktu partisipasi siswa yang aktif.
  • Beri dorongan atau mandat kepada pebelajar agar bekerja sama dalam menggarap pekerjan rumah (setiap katagori tunggal ).
  • Perhatikan alur logis topik mata pelajaran individu (sekuensial ), tapi juga ditunjukkan hubungan antara materi sekarang ini dan materi lain yang relevan dalam pelajaran yang sama dan pada mata pelajaran  lain dalam disiplin ilmu yang sama, dalam disiplin ilmu lain dan didalam pengalaman keseharian (global).

Kesimpulan dan komentar Penulis

Karakteristik pebelajar memberikan  kita gambaran yang utuh dan holistic tentang pebelajar baik aspek pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Potensi dasar pada diri pebelajar berupa Intelegensi yang beragam (multiple intelligence) telah menyadarkan kita betapa selama ini telah terjadi kesalahan yang fundamental terhadap praktek pendidikan. Analisis dan temuan Gardner (1991) memberikan peluang bagi pengembangan maksimal potensi dan daya kreasi pebelajar.

Implikasi dalam proses pembelajaran dengan perbedaan profil intelegensi memberikan pemetaan bahwa pada dasarnya seseorang memiliki intelegensi yang beragam membutuhkan pelayanan yang berbeda dan pendekatan yang berbeda, agar menjurus pada intelegensi spesifik. Hal ini menjadi jalan keluar terbaik bagi praktisi, teknolog, maupun ahli dalam bidang pendidikan  guna dapat melakukan perubahan mendasar terhadap paradigma belajar dan pembelajaran terutama di lembaga sekolah dan perguruan tinggi.

Pada tataran operasional, model gaya belajar dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memenuhi kebutuhan belajar siswa terutama pada proses belajar yang bersifat klasikal. Pilihan terhadap salah satu model gaya belajar, akan berimplikasi pada disain pembelajaran, kurikulum,bahan ajar dan perangkat lunak pembelajaran. Pendekatan individual dalam proses belajar akan sangat membantu pebelajar  untuk pemerolehan perkembangan inteketual, kemampuan berbahasa, menambah pengalaman, membentuk gaya belajar, pengembangan bakat, minat dan kepribadian.

 

 Daftar Rujukan :

Amstrong T. (994)  Multiple Inteligence In Classroom. Alexandria,VA: ASCD.

Gardner H.(1991) The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools should Teach.New York.Basic Books.

Gardner H. (1993) Multiple Inteligences : The Theory In Practice-a reader.New York : Basic Books

Lazear D. (1991) Seven ways of Knowing: teaching to the multiple inteligeces.Palatine IL.Skylight Publishng.

Karakteristik Pebelajar (online)

Wilson, L.O. (1998) Multiple Inteligences Devined (Download)