Ngobrol sama anak muda saya kira jauh dari hal serius, namun saya bertemu dengan anak muda yang kerja di sebuah sekolah islam ternama dan berbincang yang justru membuat saya membuka hati. Dari awal perbincangan sudah nampak serius padahal kalau memperhatika sehari-hari orangnya murah senyum senang guyon dan malah kadang suka menggoda untuk bergurau. Apa yang saya obrolkan adalah tentang dilema pekerjaannya dimana disatu siai menuntut dia berbuat sesuai dengan ajaransesuai kaidah yang benar disisilain dia harus menjalankan apa kata pimpinan yang sering kali bertentangan dengan apa yang pernah ia pelajari selama dia sekolah.
Hal-hal baik yang diajarkan oleh guru dan ditauladankan oleh orang tua adalah pelajaran berharga yang sulit terhapus dari ingatan. Pembiasaan baik, berbuat mulia dan taat agama jika tertanam maka sangat berpengaruh dalam kehidupan selanjutnya. Hal semacam ini kadang dihancurkan oleh perbuatan sesaat yang mungkin hanya berdasar pada kepentingan belaka. Kebaikan itu akan memudar seiring waktu jika lingkungan memiliki kebiasaan lain dari apa yang dipelajari. Termasuk lingkungan sekolah pun tidak menjamin jika dikelola dengan tujuan kepentingan sesaat. Inilah yang dialami oleh anak muda tersebut. Dia berpikir jika dia kerja dilingkungan sekolah dia dapat melestarikan kebiasaan baik yang tertanam pada dirinya, namun tiba-tiba jadi galau ketika menghadapi lingkungan yang tidak diharapkannya.
Anak muda tersebut berada pada situasi dimana dia harus memilih apakah menegakkan kebenaran atau menuruti pemimpin. Menegakkan kebenaran adalah hal yang wajib dilakukan dimanapun berada, namun demikian mentaati perintah pemimpin juga ajaran yang wajib dilakukan. Lalu masalahnya dimana?. Ya masalahnya adalah bagaimana anak muda tersebut dalam menganalisa dan memproses lalu membuat keputusan apa yang seharusnya dilakukan. Nah di sinilah pentingnya fungsi pendidikan yang diberikan.
Pendidikan itu multi linier dalam mewujudkan tujuannya. Linier adalah mendesain seluruh proses yang dibuat, saling terhubung dan saling berdampak. Pendidikan tidaklah dapat dilakukan secara parsial, terpisah, dan berserakan. Pendidikan musti memadukan antara seni menatap hidup, merangkai keahlian, dan melykis karakter. Seluruhnya harus dilakukan secara berkesinambungan dan seharusnya tidak boleh terputus.
Anak muda tersebut sejak kecil telah melalui proses pendidikan dengan baik, namun terhenti ketika dia harus berhadapan dengan kenyataan lingkungan. Dan semakin membuat dia shock karena lingkungannya ternyata lingkungan sekolah berbasis agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kebenaran. Dia berpikir seharusnya lingkungan dia bekerja bisa seperti pengalaman belajar yang diterima sejak kecil.
Selanjutnya, sekolah adalah lembaga terhormat -dan kalau saya menyebut lebih terhormat dibanding lembaga apapun dalam satu negara- semestinya berisi segala sesuatu yang memiliki nilai kehormatan tinggi, apapun alasannya ini tidak bisa dibantah. Sekolah dalam bentuk apapun adalah asal dimana seseorang tidak tahu menjadi tahu, tidak mengerti menjadi paham, dan memunculkan karakter-karakter baik yang kuat. Sekolah dimanapun itu harus memiliki guru-guru yang terpilih atau orang-orang terpilih baik dalam mengelolanya. Sekolah adalah tempat membentuk seseorang. Rumah itu dan lingkungan itu juga sekolah. Apalagi lembaga yang dibentuk secara sengaja sebagai sekolah, maka semestinya dengan cermat dan serius dalan membuat program maupun kebijakan yang djalankan. Seluruhnya harus satu jalan di rel pensidikan. Tidak hanya saat pelajaran dikelas, namun masuk lebih jauh kedalam nafas kehidupannya sehari-harinya. Tidak hanya saat guru menjelaskan, juga saat mengatur dan menjalankan administrasinya. Bukankah sudah jamak kita lihat bagaimana sekolah “mengatur” manajemennya sesuai kepentingan dan ini tidak boleh dilakukan.
Sekolah harus berubah total, mengambil istilah Islam, sekolah musti “Hijrah”. Sekolah musti mendesain dirinya sebagai tempat menempa nilai-nilai inti kehidupan. Tidak hanya dalam mempersiapkan skill siswa dimasa depan yang menuntut guru merubah cara mengajarnya, namun juga dalam menata manajemennya sekolah harua jujur dan bersih. Memberikan nilai anak tidak bisa dalam bentuk nilai rekayasa, memberi informasi perkembangan ke orang tua juga tidak boleh di buat-buat agar tidak diprotes atau merasa terbebani. Menyampaikan citra ke masyarakatpun haruslah dengan bersih dan murni bukan pencitraan belaka.
Sehingga akhirnya, sekolah adalah lembaga bersih dan murni dengan manusia-manusia yang sama dengan wajah sekolah tersebut. Pemimpin sekolah pun harus menanamkan hal tersebut kepada seluruh bawahannya dan sistem yang dibuatnya. Bukannya setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Bukankah kita juga sedang menyiapkan orang-orang yang akan memimpin kita kelak dikemudian hari. Bayangkan jika pemimpin itu kita proses dengan apa adanya, dalam lingkungan yang penuh rekayasa dan sistem berdasar kepentingan sesaat. Maka yang menikmati kelak adalah orang-orang yang hari ini mendidik mereka.
Bapak, Ibu dan sekolah, yuk berhijrah.