Belakangan ini guru menjadi sorotan yang luar biasa berbagai terobosan pun mulai dilakukan, mulai dari plpg, ukg, atau kalau di sekolah ada visitasi, penilaian guru dan lain-lain. Sejatinya semua ingin mengukur keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di kelasnya. Dan sejatinya menilai hasil kinerja guru bisa dibilang sederhana yaitu lihat saja nilai sebenarnya yang diperoleh anak bila berkaitan dengan nilai, dan lihat keterampilan dan sikap yang dimiliki anak jika berkaitan dengan sikap dan keterampilan. Sederhana kan?
Jika begitu mana yang lebih dulu dilihat sebagai dasar keberhasilan? Apakah gurunya atau siswanya?
Yuk kita lihat. Perhatikan seorang ahli masak. Bukankah seorang chef handal dan ahli yang dinilai adalah hasil makanannya, bukan pada saat bagaimana dia memasaknya. Dengan merasakan hasil masakannya maka kita bisa tahu chef tersebut ahli dan pandai dalam memasak. Saat kita menemui rasa masakan yang tidak sesuai atau bahkan tidak enak, barulah kita mencari penyebabnya melalui melihat langsung bagaimana proses chef itu memasaknya. Melihat catatan resepnya. Melihat bagaimana dia mengolah bahan menjadi makanan. Dan bahkan melihat detil penyajiannya.
Yang sering terjadi dalam proses pembelajaran adalah kita melalaikan pengamatan perkembangan hasil anak secara otentik terlebih dahulu, bukan pada hasil di lembar laporan nilai atau raport. Ketika Kita fokus kepada administrasi guru, visitasi guru dikelas, penilaian sejawat dan pengamatan lainnya itu semua tidaklah menjamin tercapainya standar minimal pelayanan sekolah apalagi tanpa dasar sebelumnya kenapa kita harus menilai guru bersangkutan. Justru kita juga lupa ketika menerima para guru baru, mereka tidak kita beri bekal dasar bagaimana spm (standar pelayanan minimal) di sekolah, apa yang musti ditekankan dalam proses belajar mengajar, bagaimana membuat perangkat, bagaimana assesment dan pengelolaan hasil nilainya. Mereka seakan kita anggap sudah mumpuni dalam mengajar padahal setiap sekolah memiliki standar tersendiri. Ini nanti akan merepotkan sekolah dikemudian hari karena para guru berasumsi sendiri terhadap kinerjanya.
Jadi untuk melihat keberhasilan seorang guru cukup sederhana, lihat yang dicapai oleh muridnya baik disisi pengetahuan, keterampilan maupun sikapnya. Jika terdapat kekurangan maka kita perlu mencari dimana letak kelemahan yang terjadi dan ingat bukan mengevaluasi, sebab yang dilakukan guru adalah “proses membentuk menjadi”. Bukan benar salah. Dimana setiap kondisi kelas jelas jelas berbeda dengan kelas lain, karakter anak pun berbeda satu sama lain, dan kita tidak bisa men-generalisasi bahwa saat mengamati guru mengajar satu kelas dan menemukan kekurangan, apalagi berhubungan ketidakseduaian dengan rpp, maka guru dianggap kurang disemua kelas. Sebab antara satu kelas dengan kelas lain guru mungkin menggunakan metode yang berbeda dibanding kelas lain, dan bisa jadi setiap kelas rpp-nya berbeda karena berbeda metode.
Nah apa solusinya? Kekayaan metode, pengamatan yang mendalam kepada setiap anak, inobel atau inovasi pembelajaran tanpa henti, dan luasnya sumber wawasan para pemangku jabatan disekolah adalah kunci meningkatkan kualitas guru dalam mengajar dan mencapai standar pelayanan minimal di sekolah. Sebab era telah berubah drastis, bila melihat dinegara maju bahkan mereka melakukan quantum yang hampir tidak bisa diprediksi. Suatu saat mereka mengajar satu kelas dengan metode A dan ketika masuk kelas lain pada tingkat yang sama mereka merubah metodenya menjadi B, fokusnya adalah kepada tujuan dan visi proses pembeljaran yang harus dicapai.
Sekarang tergantung kita menggunakan kurikulum berbasis instruksional atau kompetensi atau jangan jangan berbasis kompetensi instruksional yaitu kurikulum kompetensi yang menunggu instruksi atasan :-p (hehehe), karena kurikulum yang sebenarnya adalah “Guru Saat Menfajar dikelas”
Teman teman yuk bekukan ilmu yang kita peroleh dengan menulisknnya agar generasi selanjutnya bisa belajar dari kita dan jariyah kita terus menderu tanpa henti.